Vokalisi atau vocal warm-up mungkin sudah tidak asing lagi bagi mereka yang sudah mempelajari vokal secara formal. Sama halnya seperti otot-otot lain di bagian tubuh kita, otot-otot yang digunakan untuk bernyanyi juga membutuhkan pemanasan dan peregangan sebelum digunakan dengan optimal.
Akan tetapi, bagi mereka yang belum pernah belajar bernyanyi, vokalisi dapat terdengar aneh atau lucu -sungguh, pernah ada murid saya yang selalu terbahak-bahak saat harus vokalisi-. Begitu juga dengan anak-anak, seringkali saya mendapati mereka tak sabar untuk mengakhiri sesi vokalisi karena dirasa membosankan.
Hal ini membuat saya berpikir sebagai pengajar, alangkah pentingnya memiliki visi dalam tiap vokalisi dan menjadi kreatif dalam prosesnya. Setiap set latihan harus memiliki tujuan; cara untuk mencapainya bisa bermacam-macam selama tujuannya tercapai. Sebagai contoh, saat ingin melatih resonansi register kepala, kita bisa menirukan bunyi serigala, bunyi sirene pemadam kebakaran, atau menirukan suara tokoh Siren dari film Frozen 2. Saat melatih huruf 'a', selain dengan 'ma ma ma' kita bisa menggunakan 'pa pa', 'o ma', 'o pa', bahkan mengajak murid menciptakan kata-kata, menggunakan nama tokoh kartun favoritnya, atau menyebut nama orang-orang yang ia kenal. Saat ingin melatih nada tinggi, kita bisa naik perlahan dengan lagu "Naik-Naik ke Puncak Gunung", berpura-pura naik gunung bersamaan dengan tiap modulasi sampai ke puncak.
Dengan demikian, murid menjadi lebih aktif dan engaged dalam proses pemanasan ini, sehingga tanpa terasa organ-organ menyanyinya siap untuk masuk ke dalam lagu. Akhirnya proses vokalisi malah bisa menjadi salah satu bagian yang dinanti-nanti murid, lho. :)
Clarentia Prameta
25 Oktober 2020
留言